Pers Realese : Koalisi Masyarakat Sipil Aceh Tuntut Pemerintah Transparan Soal Angaran Covid-19

Pers Realese : Koalisi Masyarakat Sipil Aceh Tuntut Pemerintah Transparan Soal Angaran Covid-19

Besarnya dana refocusing (pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu) APBA untuk penanganan wabah Covid-19 di Aceh yang mencapai Rp 1,7 triliun, mulai dipertanyakan sebagian besar masyarakat. Pasalnya, hingga kini belum ada penjelasan rinci terkait rencana kegiatan yang bersumber dari anggaran tersebut.
Seperti diketahui, Aceh menempati urutan kelima terbesar (menyusul DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah) terkait refocusing anggaran daerah untuk menanggulangi penyebaran wabah mematikan itu. Anggaran sebesar 1,7 T ini bakal diplotkan dalam tiga pos: penanganan kesehatan, penanganan dampak ekonomi, dan penyediaan jaring pengaman sosial.
Namun, apa saja item kegiatan dari masing-masing pos tersebut? tak pernah dijelaskan. Kendati DPRA telah beberapa kali memanggil tim Gugus Tugas Covid-19 Pemerintah Aceh, belum ada dokumen terkait alokasi anggaran itu yang bisa diakses oleh publik.
Di sisi lain, banyak pihak telah mewanti-wanti potensi penyimpangan dari anggaran ini. Salah satunya Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) yang beberapa waktu lalu mengatakan bahwa rentannya penyalahgunaan anggaran ini karena pemerintah tidak transparan. Tak hanya itu, alokasi APBA ini juga terancam tumpang tindih dengan anggaran dari pusat (APBN), kabupaten/kota, hingga dana desa.
Karena itu, sejumlah perwakilan masyarakat sipil di Aceh mendesak pemerintah Aceh agar lebih terbuka kepada masyarakat. Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul yang juga bagian dari koalisi tersebut menuntut pemerintah menjabarkan secara rinci apa saja item program yang akan menyedot dana mencapai Rp1,7 T itu.
Selain itu, kinerja Tim Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Aceh juga patut disoroti. Selama ini masyarakat tidak pernah tahu tugas tim tersebut, selain menginformasikan jumlah ODP, PDP dan pasien positif Covid di Aceh. Padahal, di samping persoalan kesehatan, masyarakat juga berjibaku didera masalah ekonomi.
Sementara, banyak sekali persoalan di masyarakat soal penyaluran bantuan ini. Data penerima yang tumpang tindih bisa memicu konflik sosial, lantaran hanya sebagian warga yang menerimanya. Padahal Ppemerintah telah menentukan bahwa bantuan Covid-19 ini hanya diperuntukkan bagi OMB (orang miskin baru), bukan penerima PKH dan penerima BLNT (bantuan langsung non tunai). Namun, justru distribusi di lapangan sangat tidak jelas peruntukannya, tidak tepat sasaran dan netral gender . Jenis bantuan yang diberikan juga belum memenuhi kebutuhan spesifik warga yang memiliki keragaman kebutuhan seperti lansia, disabilitas, balita, ibu hamil, orang dengan HIV AIDS, masyarakat terpencil dan kelompok marjinal lainnya. Hal ini terjadi karena
respon kedaruratan belum menggunakan data pilah gender dan analisa kebutuhan berbasis gender. Masyarakat Sipil juga mengamati bahwa kebijakan PUG dalam situasi darurat penanganan bencana, yang dituangkan dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No. 13 tahun 2014 tentang PUG dalam Penaganan bencana, dimana didalamnya mengatur kewajiban memperhatikan pengalaman perempuan dan anak perempuan pada saat bencana agar intervensi penanganan sesuai dengan kebutuhan perempuan, juga tidak terlihat menjadi rujukan bagi Satgas Penanganan Covid Aceh.
“Sehingga masyarakat banyak yang mengeluh, dan ini bisa memicu konflik sosial, karena ada yang dapat dan ada yang tidak,” ujar Syahrul dalam pertemuan bersama sejumlah perwakilan lembaga masyarakat sipil, Selasa (5/5/2020).
Peran DPRA juga tak luput dari kritikan. Sebagai lembaga yang menjalankan fungsi pengawasan, ujar Syahrul, DPRA seharusnya bisa mendesak Pemerintah Aceh untuk terbuka menjelaskan program mana saja yang dicoret dari dokumen anggaran tahun 2020. Bahkan pihaknya menegaskan, dewan bisa mengajukan hak interpelasi dalam hal ini.
“Anggaran yang besar dan sangat mendesak untuk disalurkan kepada masyarakat, tapi informasinya sendiri tidak transparan, kendati DPRA telah beberapa kali memanggil TAPA. Maka kami tekankan, dewan jangan ragu untuk mengajukan hak interpelasi demi memperjelas penggunaan dana ini,” desaknya.
Pemulihan Ekonomi Jangka Panjang
Dalam kesempatan yang sama, masyarakat sipil Aceh juga mendesak pemerintah segera memaparkan langkah-langkah penanggulangan dampak Covid-19 secara jangka panjang. Direktur Flower Aceh, Riswati mengungkapkan masyarakat Aceh butuh kejelasan dari pemerintah mengenai upaya mengakhiri krisis tersebut.
“Pastikan pemerintah punya proyeksi soal rencana kerja jangka pendek, menengah, dan jangka panjang dalam menanggulangi wabah ini,” kata dia. Hal itu menyikapi langkah-langkah pemerintah yang selama ini hanya berkutat pada pemberian bantuan langsung.
Pemulihan ekonomi dengan sebatas pembagian sembako, kata Riswati, tidak akan menjawab secara utuh persoalan besar yang dihadapi masyarakat hari ini. Mestinya dipersiapkan mekanisme yang jelas untuk pemenuhan kebutuhan jangka panjang dan mudah diakses masyarakat.
Permasalahan di sejumlah desa, imbuh Riswati, banyak keuchik yang kebingungan menyikapi instruksi dari pusat terkait penyaluran bantuan, sementara mereka belum mendapat mekanisme yang jelas.
“Jadi banyak yang tidak berani mengambil tindakan, khawatir akan jadi bumerang, karena takut jadi masalah di kemudian hari,” ujarnya. []
Koalisi Masyarakat Sipil Aceh:
-Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK)
-Flower Aceh
-KontraS Aceh
-Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA)
-Katahati Institute
-Forum LSM Aceh
-Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSUIA)
-LBH Banda Aceh

Narahubung:
Syahrul (LBH Banda Aceh) 085398692548
Riswati (Flower Aceh) 08116821800

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *